Jumat, 25 Mei 2012

INDONESIA NEGARA OLIGHARKI : ADAKAH KEHIDUPAN BAGI MASY. ACEH DAN PAPUA?

                                       
(Bahan Renungan Untuk Masyarakat Aceh dan Papua Terhadap Pemerintah Pusat)       

Oleh : Taufik Rafael             

Katanya negara Indonesi negara hukum. Katanya Negara Indonesia Negara demokrasi. Katanya Negara Indonesia bercita-cita menegakkan HAM. Katanya Negara Indonesia mau mencerdaskan bangsa. Dan banyak ‘katanya', saya sendiri tidak tahu, karena ternyata itu semua bukan untuk orang Aceh dan Papua. Bahkan, pada suatu titik saya malah bertanya "Adakah kehidupan untuk orang Aceh maupun Papua di Negara Oligarki ini?" Hukum di negara ini telah dikebiri atas dasar kompromi kepentingan setiap pihak yang melibatkan penguasa dan kapitalis. Tidak ada hukum bagi Orang Aceh dan Papua, tidak ada demokrasi bagi orang Aceh dan Papua, tidak ada HAM bagi orang Aceh dan Papua, tidak ada pendidikan bagi orang Aceh dan Papua. Yang ada adalah stigma separatis bagi orang Aceh dan Papua di negeri ini. Bukankah justru pemerintah pusat Jakarta yang selalu mempermainkan Aceh maupun Papua itulah yang sebenarnya separatis. Tanya kenapa? Saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa perlakuan situasi masyarakat Aceh dan Papua saat ini adalah tantangan kemanusiaan kita, bukan saja dalam lingkup Indonesia, melainkan juga dunia. Sampai sekarang, secara tidak sadar, kita terseret pada potret politik stigma yang dimainkan di Aceh dan Papua. NAD dan Papua hanya dilihat dengan mata curiga, atau lebih keras lagi, dilakukan dengan cara demonisasi cap dan tekanan psiko-sosial yang berulang-ulang. Begitu sistematisnya demonisasi ini sampai-sampai tidak sedikit orang yang menganggap adalah lumrah melakukan kekerasan terhadap masyarakat Aceh maupun Papua dengan sebutan “ karena mereka "separatis" dan karena mereka "Aceh/Papua"


Negara Oligarki yang dikuasai oleh sekelompok orang saja, biasanya cita-cita penegakan hukum, cita-cita demokrasi, cita-cita penegakan HAM, cita-cita pencerdasan bangsa hanya semu. Pokoknya, semua aspek pembangunannya semu. Itulah realitas di Indonesia karena hanya bayangan dari negara kapitalis. Maka saat ini Indonesia adalah negara oligarki semu yang dimaksud. Walaupun sudah merdeka, rakyatnya masih terjajah, karena cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk penegakan hukum, menjalankan demokrasi, cita-cita penegakan HAM, cita-cita pencerdasan bangsa tidak sepenuhnya berjalan baik. Sepertinya hanya sebuah cita-cita yang barangkali menjadi utopia saja. Belum tercapai, kecuali untuk segelintir elit empunya negara ini (penguasa).



Sejak pemerintah Orde Baru berkuasa sampai saat ini, demokrasi yang diagungkan justru sangat semu. Demokrasi hanya dimanfaatkan segelintir penguasa untuk mengisi kantong saku dengan uang hasil korupsinya. Sementara label negara hukum yang sudah dikumandangkan ketika proklamasi kemerdekaan hanya berpihak pada penguasa, pemilik modal (pengusaha kelas kakap atau identik mafia peradilan). Hukum hanya milik militer di negeri yang telah terlibat dalam berbagai kasus kekerasan di daerah konflik, seperti di Ambon, Aceh dan Papua. Pandangan seperti itu, berangkat dari pemahaman bahwa negara ini menganut sistem oligarkhi, di mana hanya segelintir orang saja yang berdaulat secara penuh, merekalah yang punya hukum, ekonomi baik dan kedudukan. Selama ini ritus pemilihan umum yang diagungkan sebagai wujud dari demokrasi hanya menjadi sarana untuk menutup kebobrokan demokrasi di negeri ini. Dalam kondisi negara seperti ini mari kita bercermin ke Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua Barat yang dengan mitos Sabang sampai Merauke telah menjadi euforia elit Jakarta. Selama 36 tahun NAD dan masyarakat Papua diintegrasikan ke dalam NKRI tidak membawa perubahan bagi kehidupan mereka itu sendiri.


Sistem ekonomi yang dibayang-bayangi kapitalis tidak sepenuh hati memihak masyarakat Indonesia apalagi untuk masyarakat Aceh dan Papua, bahkan tidak pernah ada usaha serius untuk membangun ekonomi kerakyatan Aceh pasca di tandatangani nota perdamaian di bawah paying Memmorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Barang kali juga begitu dengan sistem pendidikan Indonesia tidak memampukan orang Aceh dan Papua untuk berpikir kritis, untuk mengelola kekayaan alam yang berlimpah serta masyarakat Aceh maupun Papua larut dalam persoalan yang ada, tanpa tahu akar dari persoalannya.

Hukum yang tidak memihak, ekonomi yang tidak merata, pendidikan yang menghilangkan kekritisan untuk memahami bahwa kita sedang di jajah dan budaya kita semakin hilang akibat kekuasaan etnis-etnis tertentu yang mengaku berbudaya dan bermartabat. Akhirnya atas nama budaya dan martabat yang agung itu, budaya dan martabat bangsa lain terus diinjak-injak.
Penegakan hukum, demokrasi, penegakan HAM, pendidikan yang memadai, ekonomi rakyat untuk orang Aceh dan Papua tidak ada, selagi stigmatisasi separatis, OPM dan GAM/GPK masih terus dilontarkan oleh Negara Indonesia kepada orang Aceh dan Papua Barat. Sebenarnya, kalau mau jujur semua orang Aceh maupun masyarakat Papua, anak sekolah, pejabat, para ibu – ibu, pemudakah, tokoh agama kah, gurukah, bahkan mahasiswa kah dan pokoknya semua orang Aceh itu adalah GAM/OPM. Lalu apa itu GAM atau OPM itu sendiri?

Berbicara di tataran konkret, berbagai kasus pelanggaran HAM berat tidak pernah ada satu pun yang habis dituntaskan. Katanya Indonesia adalah Negara hukum, tetapi kita saksikan berbagai kasus kekerasan, pelanggaran HAM di Aceh, Papua dan lainnya yang tidak pernah tuntas. Hukum hanya berpihak pada penguasa, militer dan pengusaha. Itu mencerminkan rezim yang anti dengan kebenaran hukum (HAM), karena takut kebenaran membuka kebusukan-kebusukan yang selama ini ditutupi agar tidak tercium oleh dunia internasional.

Banyak contoh kasus, betapa kejamnya hukum Indonesia terhadap orang Aceh maupun Papua. Antara lain, misalnya pembunuhan Theys Hiyo Eluay yang belum tuntas hingga saat ini, proses pengadilan kasus Abepura I dan II, kasus mile 62-63 yang berbuntut pada kematian Hardi di rumah sakit Polri Kramat Jati Jakarta, dan kasus pembantaian missal Tgk. Bantaqiyah di Beutong Ateuh, Aceh serta berbagai kasus berdarah lainya. Semuanya itu adalah bentuk etnic genoside. Sehingga tidak heran, bila sebuah bangsa yang merasa lebih berkuasa yang mayoritas harus untuk melenyapkan etnik yang kecil dan tak bersuara.


Pengumuman: Tidak Ada Pembangunan untuk Rakyat Aceh dan Papua.

Pembangunan Papua yang tak kunjung datang adalah bentuk pembiaran etnik berkuasa terhadap etnik minoritas yang tak berkuasa. Alasan utama terhambatnya pembangunan di Aceh maupun Papua selama ini adalah sulitnya jagat raya alam Papua serta minimnya sarana pendidikan yang sangat terbatas bagi masyarakat Aceh maupun Papua. Barangkali, itu hanya sebuah rekayasa untuk menutupi urat malu untuk mengatakan kegagalannya membangun Aceh yang telah sekian lama berada di alam keganasan para penguasa pusat di Jakarta dengan di berlakukannya Operasi Jaringan Merah yang dikenal dengan istilah DOM serta pembangunan sarana jalan raya maupun fasilitas – fasilitas pendidikan, kesehatan atau dan lain sebagainya yang masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat Papua yang berada jauh dari alam kemerosotan perkembangan zaman modern. Dari pengamatan yang nyata bisa kita percaya bahwa itu hanya sebuah alasan tidak logis. Tidak semua daerah berbukit dan berterjal. Ada daerah datar sama halnya dengan di Jawa, tetapi anehnya di Jawa setiap daerah sampai di pedesaan sudah mendapat aspal yang licin.

Itu bukti bahwa sebenarnya tidak ada kesungguhan pemerintah terhadap masyarakat Aceh maupun Papua Barat. Jangankan jalan aspal, jalan yang mengintegrasikan antara satu kabupaten, bahkan kecamatan pun sampai saat ini belum ada. Jalan yang sudah sudah diprogram sejak berpuluh-puluh tahun lalu belum juga jadi, seperti rencana pemerintah untuk membuat jalan di daerah Papua yang menghubungkan antara Jayapura, Sarmi, Nabire, Paniai dan Timika, yang sampai saat ini belum jadi. Begitupun dengan pembangunan infrastruktur jalan raya di Aceh itu sendiri.
Lalu apa yang sudah dibangun pemerintah selama ini di Aceh dan Papua Barat? Gedung sekolah? Ekonomi kerakyatan? Pembangunan politik lokal? Semua tidak mendewasakan masyarakat, karena tidak bertitik tolak dari kondisi obyektif menyangkut sejarah, sosial kultural orang Aceh dan Papua sendiri. Semua dipaksakan sesuai kondisi Jakarta (Jawa). Tapi bagi orang Aceh dan Papua Barat pembangunan jalan, mall, pasar dan lainnya tidak akan berarti, selagi penjajahan terus terjadi secara sistematis. Dengan begitu dalam sebuah diskusi seorang teman saya pernah mengatakan," Bawa pulang saja Indonesia kamu punya pembangunan, kembalikan kami punya hak kemerdekaan yang telah Indonesia kamu rampas. Di atas kami punya negara, Negara Aceh dan Papua Barat kami ingin memulai pembangunan kami yang sesuai dengan kemauan kami, tanpa hambatan dan larangan dari Indonesia, sama halnya waktu kamu (Indonesia) merdeka dan kamu telah memulai pembangunanmu. Tetapi kami tidak ingin menjadi negara yang KKN kelas kakap dunia seperti Indonesia."

Saat ini negara Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, krisis yang telah terjadi sebenarnya sampai saat ini belum juga pulih. Baik krisis ekonomi maupun krisis hukum dan moral. Justru semua itu, berawal dari adanya korupsi kolusi dan nepotisme yang telah mengakar dalam pemerintahan ini. Barangkali saja semua itu merupakan produk kapitalisme, dan telah menjebak negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia ini. Apa lagi saat Orde Baru berkuasa telah berkolaborasi dengan kapitalisme. Sistem kapitalisme itu telah menjebak negara ini dan negara miskin lainnya untuk bergantung pada negara kapitalis.

Eksistensi negara Indonesia menjadi kepanjangan tangan dari kapitalis. Dengan menciptakan neo-kolonialis di Papua Barat. Saat ini negara hanya menjalankan amanat perintah dari negara kapitalis. Semua kebijakan perundang-undangan diambil untuk menjaga eksistensi kapitalis di Indonesia. Hal itu sudah terjadi sejak ditandatanganinya PMA pada tahun 1967 yang melegalkan penanaman modal asing di Indonesia dan salah satunya adalah Freeport Indonesia yang telah menjadi maskawin atas Integrasi Papua Barat ke dalam NKRI.


Hukum Indonesia Sudah Dikebiri

"Berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, serta polisi yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun aku akan memperoleh hasil yang lebih baik" (Pakar hukum Belanda Prof. Taverne)
Negara Indonesia dalam konteks Taverne, sepertinya mengharapkan sesuatu yang barangkali hanya utopia, sekalipun mungkin punya label menarik sebagai negara hukum. Barangkali juga akan sama maknanya bagi negara berpaham kapitalisme dengan tujuan menjalankan kebijakan untuk mengeruk kekayaan alam "manusia mengeskploitasi manusia lain" (istilah Soekarno) di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Dalam hal itu kita melihat adanya campurtangan negara (penguasa) dan pengusaha untuk melakukan kompromi dalam memformula produk hukum dinegeri ini. Kecenderungan keberpihakan lebih dimenangkan pemilik modal. Dalam hal itu kaum kapitalis yang memiliki modal paling besar untuk menyokong negara, atau memberikan retribusi daerah paling besar. Beberapa di antaranya seperti PT. Freeport Incorporation Indonesia (FI), Ekson Mobil di Blok Cepu dan lainnya. Artinya bahwa benar hukum tidak akan pernah berbicara tentang esensi materialnya. Karena terlebih dahulu telah dikebiri dengan uang. Dalam hal itu memungkinkan dan sangat wajar bila selalu terjadi mafia peradilan. Bahkan mantan Presiden Soeharto yang telah melakukan berbagai pelanggaran HAM dan nyata-nyata melakukan KKN sekalipun dibebaskan dari proses peradilan dengan berkutak-atik soal kelayakan bukan pada persoalan mendasarnya.

Taverne, memang tidak keliru untuk berharap. Namun, hanya saja di negara ini produk hukum yang telah diformulasikan atas dasar kompromi demi kepentingan kapitalis, barang kali tidak bisa menyelesaikan persoalan. Ada kekawatiran bisa mengancam keburukan yang selama ini di jalankan negara dalam menjaga kepentingan-kepentingan tertentu menyangkut kepentingan ekonomi dan politik. Itulah sebabnya kita bisa menyaksikan kematian dari para penegak hukum yang konsisten, seperti Baharudin Lopa dan juga Munir.
Suciwati, istri Munir, yakin ada beberapa pihak yang berkonspirasi dalam pembunuhan Munir, seperti Badan Intelijen Intelijen Negara (BIN) pengusaha pengelola pesawat yang di tumpangi Munir, bahkan mungkin saja melibatkan penguasa negara. Itulah sebabnya, barangkali proses hukumnya tidak di perhatikan serius (baca: Kontras). Apalagi bagi Aceh maupun Bangsa Papua yang sampai saat ini masih mendapat stigma separatis (GAM/OPM), seperti Theys, Arnol Ap (Papua) serta alm. Tgk. Bantaqiyah, Tgk. Abdullah Syafi’I, dsb (Aceh) dan serentetan pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan negara dengan militernya. Bangsa Aceh maupun Papua yang kemudian memahami dan berusaha berani untuk berbicara masalah itu hanya menggali kubur bagi dirinya sendiri. Sedangkan bagi mereka yang memperjuangkan kemanusiaan di tanah Aceh dan Papua sampai saat ini selalu di ancam dan dikejar-kejar. Barangkali jika ada orang di luar etnis Aceh maupun Papua yang berusaha membela HAM di tanah Aceh dan Papua, misalkan memperjuangkan proses hukum bagi sang Pahlawan Kemanusiaan pastilah dinyatakan sebagai pembela kaum separatis. Resikonya ancaman nyawa. Tugas paramesianis, seperti hanya bagi mereka yang berani menggali kubur bagi dirinya sendiri, karena hukum dan keadilan bagi Bangsa Aceh dan Papua telah mati.

Jadi, adakah Keadilan dalam kehidupan bagi orang Aceh dan Papua di negara oligarkhi ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar