Jumat, 25 Mei 2012

DEMOKRASI ORANG-ORANG IDIOT


Semakin banyak saja jumlah baliho kampanye yang ada di kota Banda Aceh. Seakan-akan jumlah ini akan terus bertambah setiap harinya dan tidak pernah ada pengurangan jumlah. Saya kurang tahu berapa jumlah pasti total baliho yang ada di Banda Aceh, namun menjelang Pemilihan Gubernur tahun 2013 dan Pemilihan Anggota Legislatif 2014 sepertinya jumlah ini akan terus bertambah setiap harinya.

Bukan hanya jumlah saja yang bertambah, ragam jenis wajah yang ditampilkan pun juga bertambah. Mulai dari politisi yang paling famous, sampai wajah baru  yang menjadikan pemilihan umum sebagai kesempatan untuk memperbaiki nasib mereka. Wajah baru ini tentu saja memiliki target pasar yang berbeda dengan para politisi famous. Target pasar mereka jelas adalah pemilih pemula. Orang-orang yang dipemilu kedepannya merupakan tahun pertama mereka untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi.

Ini memang dapat dianggap sebagai sebuah perjudian, kerena pemilih pemula adalah orang yang cenderung tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang realitas politik yang terjadi di Indonesia. Mereka itu tidak lebih dari sekumpulan orang-orang kosong, tanpa keberpihakan yang memiliki semangat besar untuk meramaikan pesta demokrasi. Kondisi inilah yang menjadikan pemilih pemula sebagai sasaran empuk bagi politisi kacangan yang ingin memperbaiki nasib mereka.

Aapakah hal ini merupakan sebuah kekacauan? Tentu saja ini adalah sebuah kekacauan besar. Interaksi timbal balik antara pemilih pemula dan politisi kacangan akan menciptakan pola baru dalam iklim demokrasi Indonesia. Pola interkasi ini akan melahirkan sebuah kelompok baru yang tidak memandang demokrasi sebagai sebuah wadah untuk menentukan arah pemerintahan lima tahun kedepannya. Tapi mereka memandang bahwa demokrasi adalah sebuah rutinitas formal yang memberikan legitimasi sosial pada klaim kedewasaan bagi pemilih pemula dan kesempatan untuk memperbaiki nasib bagi para politisi kacangan.

Fakta yang miris adalah bahwa fenomena ini ternyata lebih mayoritas dari gagasan intelektual tentang pemilihan umum dan demokrasi. Saking banyaknya, fenomena ini sampai menutupi gagasan-gagasan intelektual yang lahir tentang demokrasi. Kita sudah sangat jarang menemukan sebuah gagasan cerdas yang terpampang ataukah sebuah konsep yang bisa menjadi solusi pada baliho-baliho yang terpasang di tepi jalan. Yang ada adalah slogan-slogan sampah yang semakin menunjukkan kelas intelektual para politisi kacangan.

Tentu saja disamping miris hal ini juga menjadi sebuah fenomena unik dimana saat ini orang-orang tidak lagi malu untuk mempertunjukkan kebodohan mereka. Dengan slogan-slogan dan tagline yang tidak relevan dengan kondisi masyarakat, semakin membuktikan bahwa realitas demokrasi kita hari ini telah jatuh pada titik rasionalitasnya yang terendah. Demokrasi keranjang sampah yang dipenuhi oleh pemulung dan konsep lusuh yang penuh tambalan.



Demokrasi Kini

Sejak direbutnya kemerdekaan dari tangan penjajah, para pendiri bangsa menetapkan bahwa landasan berbangsa bagi Indonesia adalah demokrasi. Demokrasi, yang dicerminkan dengan kedaulatan rakyat atau dengan kata lain adanya suatu lembaga perwakilan rakyat (legislatif) memang telah menjadi suatu mufakat yang tidak pernah alfa ada di tanah air ini. Meskipun di dalam perjalanannya, lembaga perwakilan rakyat ini kerap kali di setir sedemikian rupa. Sebutlah ketika Sukarno dengan pongahnya membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan digantikan dengan DPR-GR ‘buah tangannya’ sendiri. Dan ketika rezim orde baru menyulap lembaga perwakilan rakyat dan orang yang ada di dalamnya menjadi seorang ‘yes men’ dan hanya menjadi ‘tukang stempel’ apa yang diinginkan penguasa kala itu. Hingga orde reformasi, dengan segala keterbatasannya, lembaga perwakilan rakyat tetap diakui eksistensinya dan menjadi salah satu soko guru demokrasi di Indonesia. 
Namun, setelah lebih dari 10 tahun, penegakkan  demokrasi di era reformasi ini terlihat hanya sebagai demokrasi prosedural saja dan tidak menyentuh substansi demokrasi itu sendiri. Padahal, seperti nama gerakannya, reformasi, demokrasi di Indonesia setelah tumbangnya orde baru diharapkan menjadi gerbang pembentukan bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan keketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.   
Berhasil gagalnya pemerintah Indonesia ditilik dari tiga ukuran dasar ini: seberapa mampu pemerintah melindungi warga negara dan keutuhan tanah air, berapa tingkat kesejahteraan dan kecerdasan yang dapat dicapai (Hariman Siregar, 2012). Jika Indikatornya adalah ketiga hal diatas, maka bolehlah kita menggolongkan bahwa Indonesia (sedang menuju) negara gagal. Bagaimana tidak, tiap hari kita disuguhkan dengan pemberitaan yang tidak hentinya tentang tertindasnya rakyat, wilayah kita yang ‘dicaplok’ negara tetangga tanpa bisa kita pertahankan, ketidakmampuan negara melindungi para TKI, masih tingginya angka kemiskinan dan buta huruf, rakyat ditembaki aparat, dan masih banyak contoh-contoh partikular yang menunjukkan bahwa  memang negara ini seperti berjalan tanpa pilot (autopilot). 
Namun, disatu sisi kita juga disuguhkan dengan tingkah memuakkan para wakil rakyat yang kita pilih dalam pemilihan umum. Mereka, yang notabene hanyalah memperolah mandat dari rakyat yang seharusnya menjalankan mandat itu dengan pemuh amanah, jujur, dan adil malah menyelewengkan suara rakyat. Apa yang mereka lakukan bukan lagi memperjuangkan kepentingan rakyat namun menjadi kepentingan diri sendiri, kelompok, dan juga partainya. Tak heran, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang masih sebatas pada tataran prosedural. Memang ada suatu pemilihan umum sebagai salah satu soko guru demokrasi, namun pemilihan umum itupun adalah pemilihan umum prosedural. Pemilihan umum kini telah dikooptasi oleh segelintir elit yang memiliki modal untuk membeli suara dan kursi. Akhirnya rakyatpun dimata mereka hanyalah angka-angka yang bisa dinilai dengan uang. 
Mengenai pemilihan umum sendiri, ada suatu anekdot yang menceritakan bahwa rakyat dan elit politik seperti suami istri yang sudah bercerai. Mereka menjalani hidup tanpa peduli satu sama lain. Namun, tiap lima tahun sekali, suami-istri yang sudah bercerai ini dipaksa untuk tidur satu kamar lagi, satu ranjang. Itulah yang memang terjadi, para elit politik segera menggunakan gincu dan segala atribut diri untuk mempercantik diri di depan rakyat yang menjadi konstituennya. Namun, setelah pemilu dan elit tersebut telah terpilih, hubungan semu itu hilang. Elit politik sibuk memperkaya diri demi mengembalikan modal kala kampanye dan rakyatpun kembali bergulat dengan hidup. 
Elit-elit seperti inilah, elit-elit yang menganggap demokrasi di Indonesia hanyalah demokrasi pemberian, demokrasi hadiah, yang membuat wajah demokrasi di Indonesia begitu suram. Padahal, jika ditilik lebih dalam, wakil rakyat ini dapat duduk diatas sana karena perjuangan berjuta rakyat Indonesia, berjuta pemuda sadar sejak masa penjajahan. Tanpa perjuangan terdahulu, elit-elit ini tidak mungkin sampai pada posisi demikian. 
Kondisi yang seperti ni membuat kita kembali bertanya mengenai konsep Satu Negara-Satu Bangsa (One State-One Nation), apakah itu masih relevan? Atau konsep ini telah berubah menjadi Satu Negara-Dua bangsa (One State-Two Nation)? 
Indonesia kini memang telah terkelompok menjadi dua kelompok yang bertolak belakang. Ada segelintir elit yang menguasai modal dan hidup dari keringat rakyat dan eksploitasi sumber daya ekstratif. Dan sisi lain ada mayoritas rakyat yang selalu tersingkirkan dan termarjinalkan. Sebuah kondisi yang sama sekali jauh dari cita-cita para pendiri bangsa. 

Mengutip Hariman Siregar, perjuangan bangsa Indonesia saat ini pada hakikatnya adalah ‘kembali’ menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai demokrasi yang menghargai kesetaraan (equality) dan kebebasan (freedom). Kesetaraan disini merujuk pada persamaan hak antara tiap warga negara untuk mengakses sumber-sumber ekonomi untuk hidup; dan kebebasan yang luas untuk melakukan kritik tanpa ada rasa takut, tentunya semua ini melalui saluran-saluran  demokrasi. Yang mesti kita lakukan adalah berjuang untuk mengembalikan hakikat demokrasi yang sudah terlanjur prosedural dan dikuasai elit-elit modal ini dan mengembalikan kedaulatan kepada pemilik sah negara ini: rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar