Jumat, 25 Mei 2012

Pemimpin Aceh : "Jangan Lari Dari Tanggung Jawab!!!"

Pemimpin Aceh : "Jangan Lari Dari Tanggung Jawab!!!"

  Oleh : Taufik Rafael


Arus perpindahan penduduk dari desa atau kota kecil menuju kota besar hingga saat ini masih terus berlangsung. Tampaknya otonomi daerah masih belum mampu menahan arus urbanisasi. Para pemimpin daerah yang notabene masih belum menyelesaikan amanatnya kepada rakyat sesuai sumpah jabatan saat pelantikan, kini ikut arus urbanisasi mengadu peruntungan di Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam. Inikah pertanda bahwa otonomi daerah sebuah pepesan kosong belaka?

Semangat otonomi daerah seharusnya memiliki jiwa “marsipature hutanabe”, artinya semangat untuk membenahi kampung/daerah masing-masing mampu dihadirkan oleh pemimpin-pemimpin daerah yang berkuasa. Bahwa otoritas yang telah bergeser dari kekuasaan sentralistik yang berpusat di Jakarta menuju otoritas otonom masing-masing selayaknya digunakan untuk kepentingan pemerataan pembangunan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Masih derasnya arus urbanisasi hingga saat ini ke kota-kota besar memunculkan tanda tanya besar, benarkah otonomi daerah telah berjalan dengan semestinya?

Tetapi fenomena langka yang terjadi jelang pilkada NAD 2012 dengan hadirnya calon-calon gubernur yang tidak menyelesaikan amanat yang telah diberikan rakyat di daerahnya masing-masing , seolah memunculkan penegasan bahwa otonomi daerah memang hanya pepesan kosong. Urbanisasi ternyata tak hanya milik rakyat biasa, para pemimpin pun tak kuasa untuk melakukan hal yang sama.

Para pemimpin tersebut telah jelas-jelas lari dari tanggung-jawabnya untuk mengurusi rakyatnya. Mengingkari janji-janji kampanye yang telah dikeluarkan bahwa mereka akan melakukan tugas dengan  baik selama masa jabatan yang akan diberikan untuk mensejahterakan rakyatnya.

Menjadi pemimpin rakyat jelas berbeda dengan pemimpin perusahaan,  jabatan karier di birokrasi dan militer, serta jabatan dipartai politik. Pemimpin rakyat jelas mengemban amanah rakyat secara langsung dan harus menuntaskan jabatannya tersebut dengan baik hingga akhir masa jabatannya. Berbeda dengan pemimpin perusahaan, birokrasi, militer dan partai yang sewaktu-waktu bisa dipindah-tugaskan kedaerah manapun sesuai tugas yang diberikan.

Dengan demikian keberhasilan seorang pemimpin di era otonomi daerah saat ini, salah satunya bisa diukur dari sejauh mana tanggung-jawabnya untuk menyelesaikan masa jabatan yang telah diserahkan kepadanya. Bila dikaitkan antara otonomi daerah dan arus urbanisasi, tentu keberhasilan yang menjadi ukurannya adalah bagaimana rakyat yang dipimpinnya bisa bertahan di daerahnya masing-masing untuk ikut mensukseskan pembangunan yang ada.

Bila hari ini pemimpin-pemimpin daerah saja lari dari tanggung-jawab mengemban amanat rakyat yang sudah diberikan, esok lusa mereka pun akan terus bersikap yang sama. Para pemimpin daerah yang ikut arus urbanisasi akan menjadi contoh yang buruk bagi rakyat didaerah yang ditinggalkannya. Karena menegaskan bahwa otonomi daerah hanyalah bagi-bagi kekuasaan minus kue pembangunan didalamnya.

Akankah di pilkada NAD tahun 2012 ini rakyat akan memilih pemimpin-pemimpin yang lari dari amanat rakyatnya? semoga saja tidak!

Maka untuk itu marilah kita pada hari ini Senin 09 April 2012 mari jadikanlah sebagai momentum serta sejarah lahirnya pemimpin yang mengembankan amanah rakyatnya serta bagi masyarkat Aceh khususnya mari gunakan hak pilih anda sebaik-baiknyanya karena hak pilih anda mewakili  saudara-saudara anda yangg tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Oleh karena itu, satu suara saja akan menentukan nasib bangsa kita dalam mewujudkan pilkada ini berjalan sukses, jujur dengan mengedepankan prinsip demokratis karena pemimpin itu juga amanah kita, maka gunakanlah hak pilih anda dengan mengedepankan prinsip moralitas yang tinggi dan tanpa intimidasi... DAMAILAH ACEH LOEN SAYANG... amien ya rabb

INDONESIA NEGARA OLIGHARKI : ADAKAH KEHIDUPAN BAGI MASY. ACEH DAN PAPUA?

                                       
(Bahan Renungan Untuk Masyarakat Aceh dan Papua Terhadap Pemerintah Pusat)       

Oleh : Taufik Rafael             

Katanya negara Indonesi negara hukum. Katanya Negara Indonesia Negara demokrasi. Katanya Negara Indonesia bercita-cita menegakkan HAM. Katanya Negara Indonesia mau mencerdaskan bangsa. Dan banyak ‘katanya', saya sendiri tidak tahu, karena ternyata itu semua bukan untuk orang Aceh dan Papua. Bahkan, pada suatu titik saya malah bertanya "Adakah kehidupan untuk orang Aceh maupun Papua di Negara Oligarki ini?" Hukum di negara ini telah dikebiri atas dasar kompromi kepentingan setiap pihak yang melibatkan penguasa dan kapitalis. Tidak ada hukum bagi Orang Aceh dan Papua, tidak ada demokrasi bagi orang Aceh dan Papua, tidak ada HAM bagi orang Aceh dan Papua, tidak ada pendidikan bagi orang Aceh dan Papua. Yang ada adalah stigma separatis bagi orang Aceh dan Papua di negeri ini. Bukankah justru pemerintah pusat Jakarta yang selalu mempermainkan Aceh maupun Papua itulah yang sebenarnya separatis. Tanya kenapa? Saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa perlakuan situasi masyarakat Aceh dan Papua saat ini adalah tantangan kemanusiaan kita, bukan saja dalam lingkup Indonesia, melainkan juga dunia. Sampai sekarang, secara tidak sadar, kita terseret pada potret politik stigma yang dimainkan di Aceh dan Papua. NAD dan Papua hanya dilihat dengan mata curiga, atau lebih keras lagi, dilakukan dengan cara demonisasi cap dan tekanan psiko-sosial yang berulang-ulang. Begitu sistematisnya demonisasi ini sampai-sampai tidak sedikit orang yang menganggap adalah lumrah melakukan kekerasan terhadap masyarakat Aceh maupun Papua dengan sebutan “ karena mereka "separatis" dan karena mereka "Aceh/Papua"


Negara Oligarki yang dikuasai oleh sekelompok orang saja, biasanya cita-cita penegakan hukum, cita-cita demokrasi, cita-cita penegakan HAM, cita-cita pencerdasan bangsa hanya semu. Pokoknya, semua aspek pembangunannya semu. Itulah realitas di Indonesia karena hanya bayangan dari negara kapitalis. Maka saat ini Indonesia adalah negara oligarki semu yang dimaksud. Walaupun sudah merdeka, rakyatnya masih terjajah, karena cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk penegakan hukum, menjalankan demokrasi, cita-cita penegakan HAM, cita-cita pencerdasan bangsa tidak sepenuhnya berjalan baik. Sepertinya hanya sebuah cita-cita yang barangkali menjadi utopia saja. Belum tercapai, kecuali untuk segelintir elit empunya negara ini (penguasa).



Sejak pemerintah Orde Baru berkuasa sampai saat ini, demokrasi yang diagungkan justru sangat semu. Demokrasi hanya dimanfaatkan segelintir penguasa untuk mengisi kantong saku dengan uang hasil korupsinya. Sementara label negara hukum yang sudah dikumandangkan ketika proklamasi kemerdekaan hanya berpihak pada penguasa, pemilik modal (pengusaha kelas kakap atau identik mafia peradilan). Hukum hanya milik militer di negeri yang telah terlibat dalam berbagai kasus kekerasan di daerah konflik, seperti di Ambon, Aceh dan Papua. Pandangan seperti itu, berangkat dari pemahaman bahwa negara ini menganut sistem oligarkhi, di mana hanya segelintir orang saja yang berdaulat secara penuh, merekalah yang punya hukum, ekonomi baik dan kedudukan. Selama ini ritus pemilihan umum yang diagungkan sebagai wujud dari demokrasi hanya menjadi sarana untuk menutup kebobrokan demokrasi di negeri ini. Dalam kondisi negara seperti ini mari kita bercermin ke Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua Barat yang dengan mitos Sabang sampai Merauke telah menjadi euforia elit Jakarta. Selama 36 tahun NAD dan masyarakat Papua diintegrasikan ke dalam NKRI tidak membawa perubahan bagi kehidupan mereka itu sendiri.


Sistem ekonomi yang dibayang-bayangi kapitalis tidak sepenuh hati memihak masyarakat Indonesia apalagi untuk masyarakat Aceh dan Papua, bahkan tidak pernah ada usaha serius untuk membangun ekonomi kerakyatan Aceh pasca di tandatangani nota perdamaian di bawah paying Memmorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Barang kali juga begitu dengan sistem pendidikan Indonesia tidak memampukan orang Aceh dan Papua untuk berpikir kritis, untuk mengelola kekayaan alam yang berlimpah serta masyarakat Aceh maupun Papua larut dalam persoalan yang ada, tanpa tahu akar dari persoalannya.

Hukum yang tidak memihak, ekonomi yang tidak merata, pendidikan yang menghilangkan kekritisan untuk memahami bahwa kita sedang di jajah dan budaya kita semakin hilang akibat kekuasaan etnis-etnis tertentu yang mengaku berbudaya dan bermartabat. Akhirnya atas nama budaya dan martabat yang agung itu, budaya dan martabat bangsa lain terus diinjak-injak.
Penegakan hukum, demokrasi, penegakan HAM, pendidikan yang memadai, ekonomi rakyat untuk orang Aceh dan Papua tidak ada, selagi stigmatisasi separatis, OPM dan GAM/GPK masih terus dilontarkan oleh Negara Indonesia kepada orang Aceh dan Papua Barat. Sebenarnya, kalau mau jujur semua orang Aceh maupun masyarakat Papua, anak sekolah, pejabat, para ibu – ibu, pemudakah, tokoh agama kah, gurukah, bahkan mahasiswa kah dan pokoknya semua orang Aceh itu adalah GAM/OPM. Lalu apa itu GAM atau OPM itu sendiri?

Berbicara di tataran konkret, berbagai kasus pelanggaran HAM berat tidak pernah ada satu pun yang habis dituntaskan. Katanya Indonesia adalah Negara hukum, tetapi kita saksikan berbagai kasus kekerasan, pelanggaran HAM di Aceh, Papua dan lainnya yang tidak pernah tuntas. Hukum hanya berpihak pada penguasa, militer dan pengusaha. Itu mencerminkan rezim yang anti dengan kebenaran hukum (HAM), karena takut kebenaran membuka kebusukan-kebusukan yang selama ini ditutupi agar tidak tercium oleh dunia internasional.

Banyak contoh kasus, betapa kejamnya hukum Indonesia terhadap orang Aceh maupun Papua. Antara lain, misalnya pembunuhan Theys Hiyo Eluay yang belum tuntas hingga saat ini, proses pengadilan kasus Abepura I dan II, kasus mile 62-63 yang berbuntut pada kematian Hardi di rumah sakit Polri Kramat Jati Jakarta, dan kasus pembantaian missal Tgk. Bantaqiyah di Beutong Ateuh, Aceh serta berbagai kasus berdarah lainya. Semuanya itu adalah bentuk etnic genoside. Sehingga tidak heran, bila sebuah bangsa yang merasa lebih berkuasa yang mayoritas harus untuk melenyapkan etnik yang kecil dan tak bersuara.


Pengumuman: Tidak Ada Pembangunan untuk Rakyat Aceh dan Papua.

Pembangunan Papua yang tak kunjung datang adalah bentuk pembiaran etnik berkuasa terhadap etnik minoritas yang tak berkuasa. Alasan utama terhambatnya pembangunan di Aceh maupun Papua selama ini adalah sulitnya jagat raya alam Papua serta minimnya sarana pendidikan yang sangat terbatas bagi masyarakat Aceh maupun Papua. Barangkali, itu hanya sebuah rekayasa untuk menutupi urat malu untuk mengatakan kegagalannya membangun Aceh yang telah sekian lama berada di alam keganasan para penguasa pusat di Jakarta dengan di berlakukannya Operasi Jaringan Merah yang dikenal dengan istilah DOM serta pembangunan sarana jalan raya maupun fasilitas – fasilitas pendidikan, kesehatan atau dan lain sebagainya yang masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat Papua yang berada jauh dari alam kemerosotan perkembangan zaman modern. Dari pengamatan yang nyata bisa kita percaya bahwa itu hanya sebuah alasan tidak logis. Tidak semua daerah berbukit dan berterjal. Ada daerah datar sama halnya dengan di Jawa, tetapi anehnya di Jawa setiap daerah sampai di pedesaan sudah mendapat aspal yang licin.

Itu bukti bahwa sebenarnya tidak ada kesungguhan pemerintah terhadap masyarakat Aceh maupun Papua Barat. Jangankan jalan aspal, jalan yang mengintegrasikan antara satu kabupaten, bahkan kecamatan pun sampai saat ini belum ada. Jalan yang sudah sudah diprogram sejak berpuluh-puluh tahun lalu belum juga jadi, seperti rencana pemerintah untuk membuat jalan di daerah Papua yang menghubungkan antara Jayapura, Sarmi, Nabire, Paniai dan Timika, yang sampai saat ini belum jadi. Begitupun dengan pembangunan infrastruktur jalan raya di Aceh itu sendiri.
Lalu apa yang sudah dibangun pemerintah selama ini di Aceh dan Papua Barat? Gedung sekolah? Ekonomi kerakyatan? Pembangunan politik lokal? Semua tidak mendewasakan masyarakat, karena tidak bertitik tolak dari kondisi obyektif menyangkut sejarah, sosial kultural orang Aceh dan Papua sendiri. Semua dipaksakan sesuai kondisi Jakarta (Jawa). Tapi bagi orang Aceh dan Papua Barat pembangunan jalan, mall, pasar dan lainnya tidak akan berarti, selagi penjajahan terus terjadi secara sistematis. Dengan begitu dalam sebuah diskusi seorang teman saya pernah mengatakan," Bawa pulang saja Indonesia kamu punya pembangunan, kembalikan kami punya hak kemerdekaan yang telah Indonesia kamu rampas. Di atas kami punya negara, Negara Aceh dan Papua Barat kami ingin memulai pembangunan kami yang sesuai dengan kemauan kami, tanpa hambatan dan larangan dari Indonesia, sama halnya waktu kamu (Indonesia) merdeka dan kamu telah memulai pembangunanmu. Tetapi kami tidak ingin menjadi negara yang KKN kelas kakap dunia seperti Indonesia."

Saat ini negara Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, krisis yang telah terjadi sebenarnya sampai saat ini belum juga pulih. Baik krisis ekonomi maupun krisis hukum dan moral. Justru semua itu, berawal dari adanya korupsi kolusi dan nepotisme yang telah mengakar dalam pemerintahan ini. Barangkali saja semua itu merupakan produk kapitalisme, dan telah menjebak negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia ini. Apa lagi saat Orde Baru berkuasa telah berkolaborasi dengan kapitalisme. Sistem kapitalisme itu telah menjebak negara ini dan negara miskin lainnya untuk bergantung pada negara kapitalis.

Eksistensi negara Indonesia menjadi kepanjangan tangan dari kapitalis. Dengan menciptakan neo-kolonialis di Papua Barat. Saat ini negara hanya menjalankan amanat perintah dari negara kapitalis. Semua kebijakan perundang-undangan diambil untuk menjaga eksistensi kapitalis di Indonesia. Hal itu sudah terjadi sejak ditandatanganinya PMA pada tahun 1967 yang melegalkan penanaman modal asing di Indonesia dan salah satunya adalah Freeport Indonesia yang telah menjadi maskawin atas Integrasi Papua Barat ke dalam NKRI.


Hukum Indonesia Sudah Dikebiri

"Berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, serta polisi yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun aku akan memperoleh hasil yang lebih baik" (Pakar hukum Belanda Prof. Taverne)
Negara Indonesia dalam konteks Taverne, sepertinya mengharapkan sesuatu yang barangkali hanya utopia, sekalipun mungkin punya label menarik sebagai negara hukum. Barangkali juga akan sama maknanya bagi negara berpaham kapitalisme dengan tujuan menjalankan kebijakan untuk mengeruk kekayaan alam "manusia mengeskploitasi manusia lain" (istilah Soekarno) di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Dalam hal itu kita melihat adanya campurtangan negara (penguasa) dan pengusaha untuk melakukan kompromi dalam memformula produk hukum dinegeri ini. Kecenderungan keberpihakan lebih dimenangkan pemilik modal. Dalam hal itu kaum kapitalis yang memiliki modal paling besar untuk menyokong negara, atau memberikan retribusi daerah paling besar. Beberapa di antaranya seperti PT. Freeport Incorporation Indonesia (FI), Ekson Mobil di Blok Cepu dan lainnya. Artinya bahwa benar hukum tidak akan pernah berbicara tentang esensi materialnya. Karena terlebih dahulu telah dikebiri dengan uang. Dalam hal itu memungkinkan dan sangat wajar bila selalu terjadi mafia peradilan. Bahkan mantan Presiden Soeharto yang telah melakukan berbagai pelanggaran HAM dan nyata-nyata melakukan KKN sekalipun dibebaskan dari proses peradilan dengan berkutak-atik soal kelayakan bukan pada persoalan mendasarnya.

Taverne, memang tidak keliru untuk berharap. Namun, hanya saja di negara ini produk hukum yang telah diformulasikan atas dasar kompromi demi kepentingan kapitalis, barang kali tidak bisa menyelesaikan persoalan. Ada kekawatiran bisa mengancam keburukan yang selama ini di jalankan negara dalam menjaga kepentingan-kepentingan tertentu menyangkut kepentingan ekonomi dan politik. Itulah sebabnya kita bisa menyaksikan kematian dari para penegak hukum yang konsisten, seperti Baharudin Lopa dan juga Munir.
Suciwati, istri Munir, yakin ada beberapa pihak yang berkonspirasi dalam pembunuhan Munir, seperti Badan Intelijen Intelijen Negara (BIN) pengusaha pengelola pesawat yang di tumpangi Munir, bahkan mungkin saja melibatkan penguasa negara. Itulah sebabnya, barangkali proses hukumnya tidak di perhatikan serius (baca: Kontras). Apalagi bagi Aceh maupun Bangsa Papua yang sampai saat ini masih mendapat stigma separatis (GAM/OPM), seperti Theys, Arnol Ap (Papua) serta alm. Tgk. Bantaqiyah, Tgk. Abdullah Syafi’I, dsb (Aceh) dan serentetan pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan negara dengan militernya. Bangsa Aceh maupun Papua yang kemudian memahami dan berusaha berani untuk berbicara masalah itu hanya menggali kubur bagi dirinya sendiri. Sedangkan bagi mereka yang memperjuangkan kemanusiaan di tanah Aceh dan Papua sampai saat ini selalu di ancam dan dikejar-kejar. Barangkali jika ada orang di luar etnis Aceh maupun Papua yang berusaha membela HAM di tanah Aceh dan Papua, misalkan memperjuangkan proses hukum bagi sang Pahlawan Kemanusiaan pastilah dinyatakan sebagai pembela kaum separatis. Resikonya ancaman nyawa. Tugas paramesianis, seperti hanya bagi mereka yang berani menggali kubur bagi dirinya sendiri, karena hukum dan keadilan bagi Bangsa Aceh dan Papua telah mati.

Jadi, adakah Keadilan dalam kehidupan bagi orang Aceh dan Papua di negara oligarkhi ini?

Siapa Merdeka di 17 Agustus 1945?

 



Siapa Merdeka di 17 Agustus 1945?

Oleh :
 Taufik Rafael

KATANYA hari ini 66 Indonesia memploklamirkan 100% MERDEKA.. tapi apa yang kita lihat sekarang? merdeka itu hanyalah untuk segelintir pejabat koruptor yang berdasi duduk di kursi empuk saja sambil berfoya – foya menghabiskan uang rakyat dgn cara mengkambinghitamkan atas nama rakyat, 70% rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan dan meningkatnya jumlah pengangguran serta fasilitas pendidikan yang masih belum layak, 20% masih ada pelanggaran HAM berat y blm tuntas serta, inikah y d namakan dgn MERDEKA? Dimana janji tokoh Proklamator Bung Karno terhadap Bangsa Aceh dalam status pemberian otonomi daerah serta qanun yang mengatur tentang syari’at islam.

“Aku yang sakit” mengharuskan sebuah kondisi dimana sebelumnya “aku adalah sehat”. “Aku keluar” juga meminta keadaan dimana sebelumnya “aku di dalam”. “Aku yang berpikir” juga membutuhkan “aku yang ada”. Begitu pula frase “Indonesia merdeka”. Frase itu menuntut adanya kondisi bahwa sebelumnya “Indonesia tidak atau belum merdeka”. Tapi benarkah ada “Indonesia yang belum merdeka” itu?

Ketika Sukarno dan Hatta memproklamasikan Indonesia pada 17 Agustus 1945, mungkin takkan terpikirkan persoalan pelik yang kemudian menghadang. Dalam teks proklamasi, tercantum kalimat “menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Hal itu tentu meminta sebuah kondisi bahwa sebelumnya Indonesia sudah ada dan mengalami penjajahan.


Tapi, apa betul demikian? Wilayah mana dari Indonesia yang dijajah?

Secara faktual, negara pertama yang bergabung dengan Indonesia adalah kerajaan Surakarta Hadiningrat pada 1 September 1945. Melalui sebuah maklumat, Surakarta menyatakan bahwa negaranya adalah kerajaan yang menjadi daerah istimewa di Republik Indonesia, berdiri di belakang pemerintah pusat Negara Republik Indonesia, dan hubungan kedua belah pihak adalah bersifat langsung.

Empat hari setelah Surakarta, yakni 5 September 1945, menyusul negara kerajaan Ngajogjakarta Hadiningrat yang menyatakan penggabungan. Seperti Surakarta, Ngajogjakarta juga mengeluarkan maklumat, yang disebut “ijab qabul” (serah terima) atau perjanjian, bahwa pihaknya adalah kerajaan yang menjadi daerah istimewa di Republik Indonesia, memegang kekuasaan di dalam negerinya, dan antara kedua belah pihak memiliki hubungan secara langsung.

Penggabungan ini terus terjadi ke negara-negara lain. Sebut saja negara Langkat di Sumatera yang disebut-sebut menyatakan penggabungan pada 5 Oktober 1945. Akan tetapi, pernyataan itu tidak dilakukan di hadapan Sukarno-Hatta, sebagaimana negara Surakarta dan Ngajogjakarta yang dekat secara geografis, tetapi pada laskar-laskar yang baru terbentuk. Atau negara kerajaan Kutai Kartanegara di Kalimantan yang, bersama Federasi Kalimantan Timur, bergabung pada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Federasi Kalimantan Timur sendiri terbentuk pada 1947 bersama negara lain, seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur, dan Pasir.

Proses penggabungan ini memiliki kisah yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain, baik (konon) tertulis, lisan, maupun ‘terjadi begitu saja’. Dan di sinilah muncul persoalan. Jika pada kenyataannya negara-negara itu baru menyatakan penggabungan setelah 17 Agustus 1945, lantas mana wilayah yang diproklamasikan itu?

Ketika 17 Agustus 1945 disebut sebagai hari kemerdekaan Indonesia, maka ia akan menabrak eksistensi negara-negara yang kala itu masih berdiri. Dan itu artinya tak ada Indonesia yang terjajah. Yang ada adalah negara-negara berdaulat, yang dalam hubungannya dengan negeri-negeri tetangga atau Eropa memiliki dinamikanya sendiri-sendiri, entah itu saling berperang, saling bersekutu, atau perjanjian dagang.

Menyebutkan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 bukan saja terlihat rancu, tetapi juga suatu upaya pelupaan atas negeri-negeri tua yang berusia ratusan tahun – sesuatu yang justru bertolak belakang dalam semangat pencarian dan pengembangan kebudayaan dewasa ini. Jika banyak orang penasaran siapa dan bagaimana Sriwijaya atau negeri-negeri lain, misalnya, maka tindakan tersebut justru membuat akar identitas kian kabur dan tak kokoh.

Tak Mungkin Mundur
Fakta bahwa masih adanya negara-negara membuat frase “Indonesia merdeka” pada 17 Agustus 1945 menjadi tidak tepat. Lalu, apakah “Indonesia berdiri” adalah frase yang dapat kita gunakan untuk menamakan peristiwa 17 Agustus ini?
Agaknya hal itu pun tetap tidak bisa atau sama saja. Persoalannya bukanlah merdeka atau berdiri, tetapi keberadaan klaim tersebut. Seorang Sumatera sebelum dan pada tahun itu tentulah warga negara Aceh, Riau Lingga, atau lainnya. Seorang Jawa tentulah warga negara Ngajogjakarta, Surakarta, atau lainnya. Begitu pula Kalimantan, tentu ia warga negara Pontianak, Kutai, atau lainnya. Seorang Maluku tentu ia warga negara Ternate, Tidore, atau lainnya. Seorang Sulawesi tentulah ia warga negara Gowa, Buton, atau lainnya. Atau warga negara Bima di Nusa Tenggara, dan seterusnya.

Meski demikian, 17 Agustus 1945 bukan berarti tak bermakna. Ia mengambil posisi sebagai titik didih, titik tolak, bagi munculnya sebuah negara baru yang amat besar kelak, yakni Republik Indonesia Serikat pada 1949. Pada 1949 itulah secara bersama-sama seluruh negara-negara, komunitas-komunitas, melakukan penggabungan, berserikat, dan tak sepihak. Indonesia dibentuk dari bawah (bottom up), bukan dari atas (top down), dan berdaulat. Ada kontrak sosial di sana. Akan tetapi, 17 Agustus 1945 yang diyakini sebagai hari kemerdekaan Indonesia kemudian mencari jejaknya ke belakang demi mendapatkan fondasi. Dan biasanya ia jatuh pada 1928, yakni ketika diadakannya Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda di Jakarta. Akan tetapi, pada kenyataannya, para pemuda yang ikut dalam kongres di Jakarta itu adalah orang-orang dari macam-macam negara yang sedang berada di Jawa.

Sebut saja Tengku Amir Hamzah yang merupakan warga negara Langkat yang sedang bersekolah di Jawa. Amir bukanlah utusan dari negaranya untuk mengikuti kongres tersebut. Begitu juga yang lain, yang umumnya merupakan pendatang yang sedang bersekolah di negeri Jawa namun bersimpati pada penindasan yang terjadi di pulau tersebut.
Sejarawan Taufik Abdullah bahkan menyebut pemuda-pemuda yang mengikuti Kongres Sumpah Pemuda ini sebagai anak-anak sekolah belaka. Menurutnya, sumpah itu sendiri tak bermakna apa-apa. Ia dibuat menjadi berarti manakala sumpah tersebut ‘dimonumenkan’ setelah proklamasi 17 Agustus 1945.

Merayakan “Indonesia merdeka” pada tiap 17 Agustus memang menyimpan soal. Di satu sisi, ia tak masuk akal berdasarkan fakta-fakta sekaligus tak bersifat konsensus. Tapi di sisi lain, ada darah dan air mata yang tumpah menjelang dan sesudah proklamasi itu – bagi semua pihak. Dan kini, itu semua menjadi sejarah yang membadai untuk Indonesia.


Ritual Merdeka VS Sengsara; Menyambut Dirgahayu Indonesia ke-67
Tidak terasa telah 66 tahun berlalu Negara ini diperingati atas nama ‘kemerdekaan”, lalu apakah selama ini benar adanya kemerdekaan ada di hati kecil kita? Realitas tidak bisa dipungkiri bahwapenjajahan sudah musnah penindasan telah usai hanya isapan jempol belaka. Sudah 66 tahun diperingati setiap tanggal 17 Agustus dengan upacara bahkan lomba terkadang kemenyanpun ikut meramaikan ritual untuk menyatakan satu persyaratan, bahwa Negara ini ‘dilegitimasi’ sudah merdeka.

Ironi ritualitas dan keterpaksaan sejarah mengakibatkan semua meyakini bahwa Indonesia kini layak di peringati, Agustus dan 17 adalah sandingan yang menguatkan bahwa segalanya menjadi ‘wah’ padahal menurut saya menjadi terbalik dan kemerdekaan menjadi semu bahkan sirna. Bisa kita dekte satu persatu diantaranya kesengsaraan berwujud kemiskinan dan gelandangan menghiasi negeri ini. Bahkan banyak lagi yang terus menyeruak dimata kita akan realitas yang sesungguhnya bahawa merdeka hanya menjadi tanda tanya besar (?).

Mungkin sengsara yang pantas,ternyata merdeka masih jauh disana, mungkin Indonesia butuh meditasi untuk mencapai kemerdekaan dan pembebasan sejati. Meditasi ekstra dan mendalam adalah konskwensi karena kemerdekaan masih jauh panggang dari api yang hadir adalah paradoks Negarayang penuh dengan hamparan penderitaan rakyat akibat sistem yang tidak memihak rakyat kecil agar mereka dapat terentaskan.
Mungkin lembek tidak tegas bahkan terlalu kasar untuk diucapkan oleh kita, tapi keadaan itu ada dan dilakukan oleh pemimpin negeri ini. Semoga kita sadar di tengah kemeriahan yang dipaksa untuk dijejalkan di mata rakyat yang masih susah mencari sesuap nasi. Sumber alam dieksploitasi, kesejahteraan hanya retorika dan lipstick untuk pencitraan.

Bila kita sandingkan dengan bulan ini (adanya ramadhan) ditengah pikuk kemeriahan peringatan maka kita akan sadar bahwa merdeka tidaklah mudah merdeka adalah rakyat bisa bebas bisa menikmatinya dengan bertanggungjawab.

Investor menari-nari dari tangan panjang neoliberalisme, sumber daya alam dan sumber daya manusia ikut diobok-obok dibeli murah bahkan tidak dihargai. Kesejahteraan Indonesia justru dinikmati bangasa asing, dan rakyat harus mengatakan merdeka tapi realitasnya mereka sengsara. Notabene orang Indonesia asli diinjak-injak oleh kartel konglomerasi internasional dengan dalih pemerataan kerja sehingga buruh hanya dijadikan tenaga kontrak.

Rakyat miskin yang sesuai undang-undang dasar 1945 seharusnya dipelihara oleh negara malahan dibiarkan nasibnya terlunta-lunta di negeri sendiri. Perekonomian negara selalu dibimbangkan dengan ulah pialang-pialang yang memainkan mata uang rupiah yang semakin terbuang sampai-sampai tidak ada lagi bangsa Indonesia yang tahu arti besarnya uang Rp 1,-, bahkan meng-isukan alih lain dengan istilah “redenominasi” siapa yang akan menjamin perekonomian indonesia akan dapat disejajarkan dimata dunia bahkan bangkit secara nyata dibuktikan pada dunia. Sangat menyedihkan, untuk digambarkan sejatinya negeri ini, siapakah yang akan bertanggungjawab untuk semuanya? Pemerintah, pengusaha, atau rakyat yang jadi penguasa? Pemerintahlah yang memberikan andil yang sangat besar pada keterpurukan bangsa Indonesia. Pemerintah tidak berpihak pada rakyat…!!! Rakyat tidak bangga pada BangsaIndonesia … !!! Pihak Asing hanya mengeruk kekayaan Indonesia semata …!!!Itulah kunci pokok permasalahan kenapa selama ini Indonesia masih merasakan penjajahan.

Lalu dari semuanya saya hanya bertanya 66 tahun ini mau dibawa kemana? Sanggupkah pemerintah membela rakyat? Berantas korupsi, kolusi dan nepotisme, mengangkat kesejahteraan dalam realitas nyata bukan retorika. Merebut kemerdekaan nyata adalah suatu keharusan, kapan pemimpin yang bekerja atas nama rakyat dan hinggap di pemerintahan akan bekerja nyata untuk Negara dengan tegas bukan letoy atau bahkan curhat untuk mengait hati rakyat. Dibutuhkan karya nyata untuk semua melepaskan belenggu kesengsaraan yang saat ini singgah dan betah dikehidupan rakyat Indonesia. Kapan lagi kalau bukan dimulai sekarang juga, kita semua sudah tidak tahan penjajahan terus menerus dipelihara dalam atmosfer yang mengkondisikan pemimpin-pemimpin seperti dicocok hidungnya dan dikenadalikan oleh asing.
Semoga kita tahu dan sedia untuk mengurai benang yang kusut kesengsaraan untuk sanggup dengan tindakan dan hati mengatakan merdeka. Saya menjadi miris tatkala 17 agustus diperingati bahkan harusnya semua rakyat disadarkan bahwa hari ini kita harus bangkit untuk membangun jati diri bangsa yang kini telah diinjak-injak. Mari kita menggugat kemerdekaan untuk membangun Indonesia yang baru. Indonesia yang bebas dari intervensi asing dan berani tegas dimata dunia.

Tunjukkan harga diri bangsa ini bukan hanya pencitraan yang sebatas utopis berwujud mengelabui. Mari tegaskan stop dan hentikan kesengsaraan dan penderitaan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan disemua lapisan masyarakat. Karena kemiskinan, ketidakberdayaan menjadi kunci bahwa kita belum merdeka dan kita harus mau membaca, tegas katakana tidak untuksemua itu.
Marilah bersama di bulan ramadhan ini, dibulan agustus ini bertepatan dengan bulan suci untuk memerdekakan diri untuk kembali bahwa kita harus merdeka dengan senyatanya. Sesuai dengan itu maka ramadhan, agustus dan Indonesia butuh teladan, uswah dari semuanya khususnya pemimpin negeri ini bukan ritual tirakatan yang dilakukan tiap tahunan.

Stop dan hentikan kemiskinan dan kesengsaraan akibat dari sistem Negara yang semakin tidak karuan juntrungnya.Hidup adalah untuk memberi dan bukti untuk bermanfaat demikian juga dengan kemerdekaan adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar ulang dan harga mati seperti gagasan Tan Malaka “MERDEKA 100%”.